Hidup itu indah. Yah, itu untuk beberapa orang. Bagiku hidup itu keras, mengalahkan kerasnya batu.
Entahlah, jika aku bertemu Tuhan akan kutanyakan apa alasannya Ia menitipku di bumi. Apakah dulu aku terlalu nakal disurga sampai-sampai Tuhan menendang dan menghukumku untuk berkelana di bumi?Seperti cerita Sun Go Kong yang dihukum karena melawan Raja Langit lalu ditugasi menemani Biksu Thong ke Barat mengambil kitab suci. Jika kutahu kesalahanku dulu, takkan kulakukan. Aku tak ingin ada di bumi.
Namun apa daya? Aku tak ingat sama sekali saat aku masih bersama Tuhan di surga. Bahkan, akupun tak ingat saat aku dilahirkan ke bumi.Jika aku bisa menggunakan sedikit kemampuan otakku, bisakah aku kembali mengingat bagaimana rasanya saat aku dikeluarkan dari liang peranakan ibuku?
“Apa yang kau pikirkan?”, ibuku mengagetkanku.
“Aku tidak ingin ada di bumi”
“Kenapa begitu?”
“Bu, apakah di planet lain, atau di galaxy lain benar-benar ada kehidupan seperti di bumi?”
Ibuku diam sejenak. Mungkin agak aneh pertanyaan ini menurutnya.
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Orang-orang di bumi sangat individualis. Mereka terlalu egois”
Tertegun? Ya, itulah ekspresi ibuku saat ini.
“Apakah ibu juga egois?”, Tanya ibuku dan kini aku yang terdiam.
“Mungkin iya”, jawabku seadanya.
“Maafkan jika ibu egois. Tapi apa yang membuatmu berpikiran bahwa ibu egois?”
“Jika dulu aku bisa memilih, aku tak ingin lahir ke dunia.Aku ingin bermain saja di surga bersama Tuhan. Aku ingin bermain dan bersenang-senang tanpa harus menikmati kesombongan manusia-manusia di dunia,menikmati setiap cacian yang mereka ucapkan untuk keluarga miskin seperti kita.Tapi ibu egois, ibu dan ayah berusaha ingin mendapat keturunan lalu Tuhan mengabulkannya. Tapi aku tak tahu apa-apa, tiba-tiba aku sudah hidup dalamrahim ibu. Aku pikir, aku korban akan keegoisan ayah dan ibu. Sekarang aku merasa hidup di bumi itu penuh perjuangan”
“Apakah kau malu lahir dari keluarga miskin?”
“Sama sekali tidak, bu. Aku tak mempedulikan harus lahirdalam keluarga kaya atau miskin. Jika aku korban keegoisan ayah dan ibu, tidak bisakah hidupku di bumi sedikit nyaman tanpa harus mendapat akibat dari ulah manusia-manusia egois?”
“Maafkan ibu dan ayahmu yang terlalu egois hingga membawamu dalam dunia yang kejam ini. Semua ini butuh proses, kau akan terbiasa”, ucap ibuku sedih.
“Bu, kenapa petinggi-petinggi di Negara kita tidak memperhatikan nasib kita? Indonesia sudah berumur 69 tahun. Kalau di ibaratkan manusia, seseorang yang berusia 69 tahun akan menikmati masa pensiunnya dengan duduk manis sambilmeminum secangkir teh panas. Tapi apa bu? Negara kita masih harus bekerja keras di umurnya yang sudah tidak muda lagi. Masih banyak kesenjangan terjadi dimana-mana. Yang kaya semakin kaya, sedangkan orang kecil seperti kita semakin tidak dianggap. Seperti ada jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin”
“Sudahlah nak. Kita ini orang kecil, tidak mengerti apa-apa tentang Negara ini. Kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan nasib kita sebagai orang kecil. Yang kita pikirkan bagaimana caranya bertahan hidup”, kaliini ayahku angkat bicara.
“Justru sikap pasrah itu yang salah”, ucapku tak mau kalah.
“Aku merasa akan menjadi pecundang sepanjang masa jika aku tak membela keadilan di Negara ini. Kita memang orang miskin, tapi bukan berarti harga diri kita bisa diinjak-injak”, lanjutku.
“Kau tahu? Semua manusia yang ada di bumi bukanlah pecundang”, ucap ibuku dengan senyum.
Aku menatap ibuku bingung. Dalam pikiranku, orang-orang yang menindas rakyat miskin adalah pecundang yang sebenarnya. Mereka menindas dengan kekuasaan atau kekayaan yang mereka miliki. Tapi mereka sadar, bahwa yang mereka tindas adalah rakyat lemah yangtak punya wewenang apa-apa. Kejam bukan?
“Semua insan di bumi adalah pemenang yang sesungguhnya. Mereka mengalahkan jutaan sperma lain yang juga berusaha masuk ke sel telur”
Aku kembali terdiam. Berpikir, ucapan ibuku ada benarnya.
“Lalu jika semua orang adalah pemenang, mengapa ada orang menganggap manusia lain tidak pantas disebut pemenang?”
“Itu hukum alam, nak. Sejak manusia pertama berbuat dosa. Di dunia tidak ada yang luput dari dosa. Tapi dengan adanya agama dan iman,membantu kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kita hidup dalam dunia nyata. Jangan terpaku pada film-film, dimana si jahat akan terus berbuat jahat dan si baik akan terus berbuat baik. Ibu teringat, dulu ada seorang pelukis yang ingin mencari tahu tentang rupa Yesus. Lalu dia mulai bertanya pada orang-orang bagaimana rupa-Nya. Akhirnya dia menemukan orang yang mirip dengan Yesus, mulai dari wajah hingga perbuatannya. Dia adalah orang baik. Mulailah pelukis itu melukis wajah orang itu. Lalu pelukis itu mulai mencari tahu tentang rupa murid-murid Yesus. Hingga suatu kali saat ia ingin melukis wajahYudas Iskariot, ia mencari tahu tentang orang yang suka berbuat jahat hinggadiantarkannya ia ke penjara. Saat tiba di penjara, betapa kagetnya pelukis itu karena si orang jahat itu adalah orang yang sama saat ia melukis wajah Yesus.Kesimpulannya, orang yang kita kira jahat belum tentu jahat. Dia juga memiliki sisi baik, hanya saja sisi baiknya sedang ditutupi oleh kejahatan. Dan tugasmu,kau adalah salah satu pemenang sesungguhnya di bumi. Jangan mengeluh akan kerasnya hidup. Kau hanya sedang dipersiapkan untuk melawan kejahatan danmenghapus ketidakadilan. Jangan pula menyesal kau telah lahir di bumi, kau mungkin korban keegoisan ayah dan ibu tapi kau akan tetap berada pada lingkar keegoisan apabila kau tak memperjuangkan masa depan rakyat kecil. Jadilahpahlawan untuk Negara ini”
Ucapan ibu benar-benar menyentuh. Aku memeluknya, dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan di bumi. Aku memeluknya erat seakan aku mempunyai penyemangat dan sandaran. Seketika ribuan mimpi untuk memajukan Negara ini ada di kepalaku. Aku berjanjiakan menjadi pahlawan Negara ini. Jika aku belum bisa menjadi pahlawan diNegara ini, setidaknya aku yakin aku masih bisa menjadi pahlawan untuk ibuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar